Home | Contact | Resume | Photo1 | Photo2 | Photo3 | Articles | Guest | Links | Thesis | Report
7
Buruknya Pengelolaan Sampah di Tangkuban Perahu

           Saya telah beberapa kali melakukan cross country (jalan kaki) dari gerbang kawasan wisata Tangkuban (Cikole) sampai ke Kawah Ratu untuk sekedar refreshing. Kesan yang saya peroleh adalah pengelolaan sampah di kawasan ini buruk dan kurang mendapat perhatian dari pengelola kawasan hutan.

            Berikut adalah kondisinya:

1. Terdapat beberapa lokasi penimbunan sampah (organik dan nonorganik) di dekat gerbang masuk Kawah Domas. Sampah-sampah ini ditimbun begitu saja di jurang tepi jalan.

2. Jumlah tong sampah di kawasan Kawah Ratu sangat sedikit, dan tanpa memiliki TPA.

3. Para pedagang di Kawah ratu membuang sampah di kawasan hutan di belakang warung mereka, tanpa memiliki TPA bersama.

4. Para pengunjung membuang sampah sembarangan di kawasan puncak, maupun selama perjalanan dari gerbang Cikole sampai Kawah.

            Kondisi ini sangat memprihatinkan, karena kawasan Kawah merupakan objek wisata yang dikunjungi tidak hanya oleh masyarakat Jawa Barat, tapi juga pendatang luar kota. Hutan Tangkuban juga merupakan habitat bagi sejumlah kera yang mendiami hutan daerah Kawah Ratu dan Kawah Upas. Kawasan ini juga merupakan tempat mencari nafkah bagi masyarakat di sekitar Cikole dengan berdagang atau jasa wisata.

            Saran yang mungkin harus diperbaiki oleh Pemda pengelola kawasan, adalah:

1. Membersihkan timbunan sampah di tepi-tepi jurang (jurang ini tidak terlalu terjal dan tidak dalam)

2. Membuat TPA sementara untuk sampah para pedagang dan pengunjung, kemudian dipindahkan ke suatu lokasi pengolahan akhir.

3. Menyediakan lebih banyak tong-tong sampah di kawasan Kawah Ratu, Kawah Upas, dan di lokalisasi pedagang.

            Untuk pengunjung dan para pedagang, marilah kita jaga bersama-sama kebersihan kawasan Kawah. Kawasan wisata ini milik kita bersama, kita mencari rejeki di kawasan ini, kita juga mencari ketenangan dan refreshing di kawasan ini, mengapa kita memperlakukannya begitu buruk (buang sampah sembarangan dan mencoret-coret batu)? Marilah kita mulai dari sekarang, dan harus dimulai dari diri sendiri.

 

I Kadek Suparta

Cisitu Lama VA 160B Bandung



 

 
Tangkuban Perahu crater

Kawah Ratu, the main crater of Tangkuban Perahu area. The next will be Domas crater and Upas crater

Kecolongan Pemeriksaan KTP di Gilimanuk

            Saya sudah enam tahun di Bandung, pulang ke Bali satu semester atau kadang setahun sekali, lewat jalan darat melalui gerbang Bali, yaitu Gilimanuk.

            Sejak tragedi bom Bali, pemeriksaan pendatang di gerbang-gerbang masuk Bali diperketat, diantaranya dengan pemeriksaan KTP, termasuk pula di Gilimanuk. Pemeriksaan masih dilakukan sampai sekarang (terakhir saya pulang tahun baru 2005), akan tetapi ternyata terjadi kecolongan pada pemeriksaan KTP tersebut.

            Apabila pendatang begitu turun dari ferry penyeberangan langsung naik ojek, maka ia akan secara otomatis luput dari pemeriksaan KTP yang dilaksanakan petugas. Pengendara ojek biasanya langsung menjemput penumpang yang turun dari ferry dan menawarkan jasanya. Penumpang ini akan dibawa memutar tanpa melewati pos pemeriksaan KTP.

            Kalau tujuan Pemda untuk mengawasi dan membatasi para pendatang tanpa identitas menuju Bali, maka hal ini adalah suatu kecolongan, yang bahkan mungkin sudah terjadi sejak aturan pemeriksaan ini diterapkan.

            Mohon kepada pihak yang terkait untuk lebih memperketat lagi sistem pemeriksaan, dan kepada para pengendara ojek untuk tidak mengelabui petugas yang akhirnya hanya akan merugikan kepentingan bersama.

           

I Kadek Suparta

Asrama Mahasiswa Bali Otten,

Bandung

Surat pembaca Bali Post

Surat kepada Seorang Teman

              Saya sudah enam tahun tinggal di Bandung, Jawa Barat, di daerah pusat kota. Pada tahun ketiga (sekitar 2001) ada seorang Bali bernama Bli Gede Baru. Saya sebut begitu karena usianya tiga tahun lebih tua dari saya, datang dari Yogya seorang diri, bukan dengan menumpang bus atau kereta api, tapi dengan bersepeda, ya....bersepeda gayung.

              Kami bertemu di Asrama Mahasiswa Bali Otten. Di sana kami ngobrol dengan teman-teman sesama mahasiswa Bali yang tinggal di Bandung. Bli Gede bercerita bahwa dirinya bersepeda dari Yogya (karena kuliah di sana), lalu menuju Bandung. Perjalanannya akan dilanjutkan ke Jakarta, yang selanjutnya menuju Pantura dan akan berakhir di Bali. Dia bersepeda dalam usaha meminta dukungan dana kepada para donatur yang ada di daerah-daerah tadi, untuk renovasi Pura yang berlokasi di daerah Gunung Kidul Yogyakarta.

              Yang paling membuat saya terharu adalah kondisinya yang (maaf) cacat fisik. Untuk berjalan Bli Gede memerlukan bantuan sebuah tongkat kaki, karena ketidaksempurnaan kondisi kaki kanannya. Tapi walau begitu, dia dapat mengayuh sepeda dengan baik, tentu saja dengan membawa serta tongkat kakinya ke mana-mana bersama sepedanya.

              Bli Gede mengisahkan perjalanannya dari Yogya, menyusuri jalan-jalan sepi sendirian di malam hari. Kadang terlintas rasa takut di benaknya ketika melewati daerah kuburan yang sepi sendirian di malam hari. Halangan lain yang dia hadapi adalah ketika di jalan tanjakan. Bli Gede terpaksa turun dari sepeda, menuntun sepedanya, sambil berjalan dengan bantuan sebuah tongkat kaki. Bahkan celananya sampai aus (bubul-bahasa Bali) karena lamanya bersepeda. Di tengah perjalanan dia biasa menginap di rumah penduduk yang dengan simpatik menerima kehadirannya, atau bahkan menginap di pos/kantor polisi. Bli Gede dalam perjalanannya hanya membawa beberapa set pakaian, sebuah tas punggung, tongkat kaki, surat pengantar, dan sepeda Federalnya.

             Terakhir saya ditelepon oleh Bli Gede, katanya sudah sampai di Jakarta. Sampai saat ini, saya tidak mendengar lagi kabar darinya, apakah sudah di Yogya lagi atau masih di Bali.

              Saya sangat terkesan dan kagum dengan semangat hidup Bli Gede. Kondisi fisik tidak menjadi halangan baginya untuk mengabdikan hidupnya bagi kepentingan orang lain. Saya juga seorang biker (suka bersepeda), saya mengerti sekali letihnya bersepeda jarak jauh, apalagi sampai antar pulau, dengan kondisi fisik yang tidak sempurna pula.

              Bli Gede telah berbuat sesuatu bagi umat Hindu di Gunung Kidul, apakah kita yang diberi kesempurnaan fisik ini bisa melakukan Dharma seperti yang dilakukan Bli Gede?

I Kadek Suparta
Asrama
Mahasiswa Bali Otten
Bandung

Surat pembaca Bali Post


Gilimanuk bay, Jembrana-West Bali

The shore enterance into Bali Island. Located in the Jembrana regency, about four hours from Kuta



Moutain bike

My friend, Bli Gede Baru, went to Bandung from Yogya, and then biking aroung Java-Bali. (this picture is just an inspiration)